Rabu, 15 Juli 2009

Praktik Keperawatan Mandiri

PRAKTIK
KEPERAWATAN MANDIRI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. (KepMenKes RI No.1239 Tahun 2001). Sebagai suatu profesi, perawat bertanggung jawab memberikan pelayanan perawatan sesuai dengan wewenang yang dimiliki secara mandiri atau berkolaborasi. Hal ini tersebut dimungkinkan karena perawat memiliki ilmu dan kiat keperawatan yang mendasari praktik profesionalnya. Tenaga keperawatan sekarang, tidaklah beda dengan seseorang bidan atau dokter, yang bisa membuka tempat praktik pelayan perawatan kesehatan. Dari beberapa hasil penelitian, bahwa di Indonesia keperawatan di rumah berkembang dengan pesat yang didukung oleh faktor ekonomi yaitu semakin tingginya biaya pelayanan di rumah sakit. Namun, sebenarnya perawat tidak diperbolehkan membuka praktik keperawatan mandiri karena peraturannya masih diatur dalam surat KepMenKes 1239 dan saat ini masih berupa RUU yang belum mendapatkan pengesahan dari DPR.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, praktik keperawatan adalah tindakan pemberian asuhan perawat profesional baik secara mandiri atau kolaborasi, yang disesuaikan dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu keperawatan (Zaidin Ali : 12). Perawat sering kali melakukan tindakan keperawatan yang seharusnya dilakukan oleh dokter. Perawat diibaratkan pembantu dokter yang harus melakukan tindakan sesuai dengan perintah dokter. Kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut belum maksimal , apalagi RUU tentang praktik keperawatan belum juga mendapat pengesahan dari DPR. Di instansi pemerintah, gaji perawat Rp. 300.000,00 – Rp. 1.500.000,00 /bulan, jauh di bawah gaji dokter yang tiap bulannya dari Rp. 1.500.000,00 – Rp. 3.000.000,00. Padahal kebutuhan sehari – hari perawat belum cukup terpenuhi dengan gaji tersebut. Jika praktik keperawatan mandiri tidak diperbolehkan, maka di masa akan datang nasib para perawat sangat memprihatinkan dan kurang terjamin kelayakan hidupnya.
Pada era sekarang ini, perawat kesehatan tidak identik lagi dengan pembantu dokter masa lalu. Eksistensi dan kredibilitasnya, diakui berbagai kalangan telah maju dan berkembang menjadi kelompok profesional sehingga bisa membuka praktik mandiri di rumah. Beberapa alasan mengapa keperawatan kesehatan di rumah merupakan alternatif yang banyak diminati masyarakat antara lain, lebih hemat biaya, pemberdayaan keluarga dalam asuhan klien lebih optimal, lingkungan memberikan efek yang teraspeutik dan memberikan kesempatan bagi kasus tertentu yang memerlukan rawat lama misalnya penyakit kronis.
Melihat kepada kenyataan – kenyataan yang tergambar di atas maka praktik keperawatan mandiri dapat dilakukan oleh perawat professional yang mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan keterampilan interpersonal yang dapat memberikan pelayanan kesehatan utamanya kepada individu, masyarakat secara efektif dan terjangkau.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian praktik keperawatan mandiri ?
1.2.2 Apakah tujuan praktik keperawatan mandiri ?
1.2.3 Apa sajakah unsur – unsur praktik keperawatan mandiri ?
1.2.4 Bagaimanakah model keperawatan dalam Home Care ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan pengertian praktik keperawatan mandiri
1.3.2 Menjelaskan tujuan praktik keperawatan mandiri
1.3.3 Menjelaskan unsur - unsur praktik keperawatan mandiri
1.3.4 Menjelaskan model keperawatan dalam Home Care?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Praktik Keperawatan Mandiri
Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

2.2. Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri
Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi empat area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb, 1999), yaitu :

1. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2. Pencegahan penyakit
3. Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
4. Pemulihan kesehatan (Health Restoration), dan
5. Perawatan pasien menjelang ajal.

Peningkatan Kesehatan
Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.
Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan memerlukan :
1. Pendidikan untuk publik atau masyarakat dan individu
2. Perundang-undangan atau kebijakan yang mendukung
3. Hubungan interpersonal dengan klien secara langsung

Area keperawatan yang melibatkan perawat meliputi :
1. Mendorong dan mengadakan suatu latihan fisik secara periodik dan pemantauan terhadap proses penyakit (mis.hipertensi, diabetes militus dan kanker).
2. Memimpin pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pameran kesehatan dan program kesehatan mental.
3. Mendukung undang-undang yang ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan dan program perlindungan anak dan.
4. Peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja, dll.


Pencegahan Penyakit
Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan fungsi individu secara optimal.
Aktivitas atau kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain sebagai berikut :
1. Melakukan program pendidikan di rumah sakit, misalnya perawat ibu hamil, program melarang atau menghindari rokok, seminar ”mengurangi atau mencegah stres” dll.
2. Program umum dan dasar yang dapat meningkatkan gaya hidup sehat, misalnya melakukan senam aerobik, berenang atau program kebugaran.
3. Memberikan informasi tentang kesehatan, makanan yang sehat, olah raga dan lingkungan yang sehat melalui liflet, media massa atau media elektronik.
4. Menyediakan pelayanan keperawatan yang dapat menjamin kesehatan ibu hamil dan kelahiran bayinya dengan sehat.
5. Memantau tumbuh kembang bayi dan balita.
6. Memberikan imunisasi.
7. Melakukan pemeriksaan untuk medeteksi tekanan darah tinggi, kadar kolesterol, dan kanker.
8. Melakukan konseling mengenai pencegahan akibat kekurangan nutrisi dan penghentian rokok.

Peran perawat dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1. Bertindak sebagai model peran dalam berperilaku serta bergaya hidup sehat.
2. Mengajarkan klien tentang strategi keperawatan dan usaha meningkatkan kesehatan, misalnya dengan cara perbaikann gizi, pengendalian stres, usaha untuk membina hubungan yang baik dengan sesama.
3. Memengaruhi klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
4. Menunjukkan klien cara pemecahan masalah yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif.
5. Menguatkan perilaku peningkatan kesehatan pribadi dan keluarga.

Pemeliharaan Kesehatan (Health maintenance)
Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.
Tiga perkembangan pemeliharaan kesehatan :
1. Mencoba mengidentifikasi gejala penyakit kronis sebelum penderita mengidapnya, misalnya melakukan pemeriksaan fisik secara teratur, untuk usia di atas 35 tahun.
2. Meningkatkan ketertarikan terhadap masalah kesehatan sehubungan dengan perubahan struktur sosial masyarakat.
3. Ketertarikan pada faktor lingkungan sehubungan dengan penyebab penyakit karena stres.

Pemulihan kesehatan (Health Restoration)
Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.
Kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1. Memberikan perawatan secara langsung pada individu yang sedang sakit, misalnya dengan memberikan perawatan fisik.
2. Memberikan perawatan pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental.
3. Melakukan diagnostik dan pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit.
4. Merencanakan pengajaran dan rehabilitasi pada pasien-pasien tertentu, misalnya pda pasien stroke, serangan jantung, artritis.


Perawatan Pasien Menjelang Ajal
Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.
Lingkup praktik keperawatan pada dasarnya sangat berkaitan dengan kompetensi lulusan. Pendidikan profesional keperwatan yang diharapkan mampu berperan atau mengembangkan fungsi perawat profesional baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, pengelola, maupun peneliti.

2.3. Unsur-unsur Praktik Keperawatan Mandiri
Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :
1. Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke profesi lain.
2. Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.
3. Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping pengobatan.
4. Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.
5. Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua level.

2.4 Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)
Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian “home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).

Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah
Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperwatan di rumah dapat merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan untuk memperoleh pelayanan.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di rawat di rumah atau tidak.
2. Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah, kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya, dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran, serta jangka waktu pelayanan.
3. Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh koordinator kasus.
4. Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan kesepakatan.
Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :
1. Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.
2. Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi (Informed Consent).
3. Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan haknya dalam menerima pelayanan.

Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.
Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :
1. Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.
2. Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang diberikan.
3. Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara berkelompok.
4. Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.
5. Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.

Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :
1. Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.
2. Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.
3. Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.
BAB III
PENUTUP

3.2. Simpulan
Praktik Keperawatan Mandiri merupakan salah satu peluang, tetapi harus dicermati dengan diundangkannya undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang praktik keperawatan, pelaksanaan praktik keperawatan harus melaksanakan praktiknya dengan bertanggung jawab dan berkualitas, sehingga dapat melindungi keselamatan klien, dan akan terhindar dari tuntutan.
Pelayanan Keperawatan di rumah (Home Health Care) merupakan bentuk praktik keperawatan mandiri yang dapat diberikan oleh seseorang perawat professional sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Praktik keperawatan mandiri ini merupakan sumber yang paling memungkinkan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena tenaga keperawatan adalah tenaga kesehatan professional yang paling banyak tersebar sampai ke pelosok-pelosok.

3.3. Saran
Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan mandiri, harus memenuhi kriteria dibawah ini :
1. Meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh ogranisasi profesi dan lembaga lain yang diakteditasi oleh organisasi profesi. (Sesuai RUU tentang praktik keperawatan pasal 26).
2. Mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan ketrampilan interpersonal yang dapat memberikan kesehatan secara efektif dan terjangkau.
3. Dapat menjalankan perannya secara profesional dalam praktik keperawatan yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan, komunikasi, kolaborasi, pendidik, advokat, konselor, pembawa perubahan, pemimpin, manajemen dan peneliti.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. 2001. Dasar- Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta:Widya Medika.
Arwani, Suprianto. 2005. Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta : EGC.
Cazalas, Mary W. 1983. Nursing and the law, ed 3rd, Aspek Publication, Maryland.
Gullack, Robert. 1983. What is a Nurse Means When she says lam profesional, RN : 29 september.
Hidayat, A. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keparawatan, Jakarta : Salemba.
KhonKe, Zimmern, Greenidge. 1974. Independent Nurse Practioner. Trained Press : Garden Grove.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC.
Priharjo, R. 1995. Praktik Keperawatan Profesional. Jakarata : EGC.
Potter dan Perry. 1989. Fundamentals If Nursing Concepts, Process and Practice. Edisi 2. st, Louis : Mosby.
Reilly, Dorothy dan Oberman, Marylyn. 2002. Pengajaran Klinik dalam Pendidikan Keperwatan. Jakarata : EGC.
Santoso Imam Nugroho. 1992. Development of Nursing Education on Diploma Program, paper presented in new Direction In Nursing Education, Symposium and Workshop, UGM. Makalah tidak di publikasikan.
Siswanto, 2009. Tren and Development of Nursing Service Demand in Globalization Era, Syimposium Nasional Keperawatan, UNAIR. Makalah tidak di publikasikan.
Yani, Akhir. 2008. Peran Ners dalam Kemandirian Praktik Keperawatan pada berbagai tatanan pelayanan keshatan, khususnya rumah sakit mengkontribusi pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan merata. fik-umsurabaya.co. id. 11 maret 2009.



Antoni, putra. 2008. Rancangan Undang-undang praktik keperawatan. Wordpress. Com. 17 marat 2009.
Helwiah. 2004. Home care sebagai bentuk praktik mandiri perwat di rumah sakit dalam jurnal keperawatan Universitas Padjadjaran.Bandung. PSIK-FK-Unpad Bandung. co.id. 11 maret 2009.

Komunikasi Politik

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan, proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik pada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Proses ini berlangsung disemua tingkat masyarakat disetiap tempat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi diantara individu-individu dengan berbagai kelompok juga. Sebab dalam kehidupan bernegara setiap individu memerlukan informasi terutama mengenai kegiatan masing-masing pihak.
Tetapi sering juga timbul keluhan-keluhan yang berupa kurangnya memahami dan mendefinisikan komunikasi politik, terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang atau paradigma terhadap kompleksitas realitas sehari-hari, padahal perlu diketahui bahwa pengetahuan terhadap komunikasi dan politik merupakan suatu peranan yang sangat penting terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan perlu diketahui bahwa politik menyangkut prilaku penguasa dan berupa lahirnya partai politik-partai politik baru yang kita hanya menganggap persaingan-persaingan kegiatan berupa pemilu merupakan sebuah pesta politik untuk kalangan elit tetapi pemilu merupakan kegiatan yang amat penting dalam menegakkan kedaulatan rakyat dan karena melalui pemilu seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara lebih fear.
Kebesaran suatu bangsa bergantung pada kemampuan rakyat, masyarakat umum, dan massa untuk menemukan simbol dalam orang pilihan, karena orang pilihanlah yang mampu membimbing massa. Setiap pemimpin dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi, membentuk komunikasi, membentuk sikap dan prilaku khalayak, masyarakat yang mendukung terhadap aktivitas kepemimpinannya.
Oleh karena itu kita mengangkat tema komunikasi politik untuk dibahas lebih lanjut karena komunikasi politik memainkan peranan penting sekali didalam sistem politik dan menjadi bagian menentukan dari sosialisasi politik, partisipasi politik, dan perekrutan politik
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa pengertian komunikasi politik?
2) Bagaimana proses komunikasi politik?
3) Bagaimana hakikat dari komunikasi politik?
4) Bagaimana sikap/ prilaku penguasa politik dalam komunikasi politik?

1.3 Tujuan
1) Menjelaskan pengertian komunikasi politik
2) Menjelaskan proses komunikasi politik
3) Menjelaskan hakikat dari komunikasi politik
4) Menjelaskan sikap/ prilaku penguasa politik dalam komunikasi politik

1.4 Manfaat
1) Berperan aktif dalam menyampaikan aspirasi ataupun pesan kepada penguasa sebagai masyarakat yang memepunyai kewajiban bersama dalam membangun bangsa dan negara yang adil dan maju.
2) Memberikan indikasi atau petunjuk kepada masyarakat dan para pemerintah negara (penguasa) entang pentingnya komunikasi politik.
3) Mencegah dan menghindari serta menanggulangi bagaiman agar masyarakat paham akan pengetian, proses, dan hakikat komunikasi politik, serta kewenangan dan kewajiban penguasa











BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK
Para pakar ilmu politik dan pakar ilmu komunikasi berupaya untuk memberikan suatu pengertian tentang apa itu komunikasi politik. Sulit kiranya untuk menstandarisasi satu pengertian yang dapat memenuhi semua disiplin ilmu, namun para pakar di dalam merumuskan suatu pengertian telah berupaya secara maksimal sebagai sumbangan (kontribusi) yang sangat berharga yang dapat memperkaya rujukan dunia ilmu pengetahuan khususnya ilmu komunikasi. Proses komunikasi politik bukan membahas suatu proses yang bersifat temporer atau situasional tertentu, namun bahasan komunikasi politik akan menampakkan identitas keilmuan, baik sebagai ilmu murni (pure science) yang bersifat ideal, maupun sebagai ilmu terapan (applied science) yang berada dalam dunia empiris.
Sebagai ilmu terapan (applied science) maka bahasan komunikasi akan terus berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi atau sebagai akibat temuan-temuan teoritis, produk berpikir dan hasil penelitian para ilmuwan politik atau ilmuwan komunikasi.
"Komunikasi politik (political communication) adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan seperangkat simbol-simbol yang berarti yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.".
Maswadi Rauf melihat komunikasi politik dari dua dimensi, yaitu komunikasi politik sebagai sebuah kegiatan politik dan sebagai kegiatan ilmiah.
Komunikasi sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan ini bersifat empirik, karena dilakukan secara nyata dalam kehidupan sosial. Sedangkan sebagai kegiatan ilmiah, komunikasi politik adalah salah satu kegiatan politik dalam sistem politik (Rauf, 32 - 33).
Rusadi Kantaprawira seorang pakar hukum, melihat komunikasi politik dari sisi kegunaannya. Menurut Rusadi komunikasi politik adalah untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah (Rusadi, 1984: 14).
Astrid S. Soesanto dalam buku Komunikasi Sosial di Indonesia mengangkat suatu formulasi pengertian komunikasi politik yang hampir diwarnai kajian ilmu hukum. Hal ini tampak dari kalimat yang diturunkan dalam formulasi pengertiannya. Menurut Astrid komunikasi politik adalah komunikasi diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik".
Formulasi pengertian yang sangat unik yaitu yang diangkat Dan Nimmo dalam buku Political Communication and Public Opinion in America menyatakan sebagai berikut :
" ... It is a book of Political Communication (activity) consider political by virtue of its consequences (actual and potential) which regulate human conduct under conditions of conflict” (Dan Nimmo, 1980: 7).
”... Buku ini (komunikasi politik) menggunakan istilah politik hanyalah untuk mengartikan kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial”
Roelofs mengangkat buah pikirannya tentang komunikasi politik dalam kalimat sederhana yang menyatakan bahwa komunikasi politik adalah pembicaraan tentang politik atau kegiatan politik adalah berbicara.
Dan menurut Gabriel Almond (1960) bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Apa yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas cukup untuk memberi pedoman dalam membentuk suatu pengertian tentang apa itu politik. Format pengertian itu semua muncul dalam visi (sisi pandang) beragam sesuai disiplin ilmu yang melatarbelakanginya.
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –”penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
Pengertian tersebut menunjukkan pada sikap dan perilaku seluruh individu yang berada dalam lingkup sistem politik, sistem pemerintahan atau sistem nilai baik sebagai pemegang kekuasaan maupun sebagai masyarakat untuk terwujudnya suatu jalinan komunikasi antara pemegang kekuasaan (pemerintah) dengan masyarakat yang mengarah kepada sifat-sifat integratif.
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.

2.2. PROSES KOMUNIKASI POLITIK
Pesan
SUMBER Saluran PENDENGAR
Umpan Balik


1. Komunikator/ sender/ sumber = Pengirim pesan
Encoding : Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
2. Message = Pesan
3. Media = Saluran
Decoding - Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
4. Feed back = Umpan balik/ respon
5. Komunikan (receiver)/ pendengar (audiens) = Penerima pesan

KOMUNIKATOR POLITIK (SUMBER)
Komunikator Politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara.
Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.
Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai opini publik”, yakni opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politi.
Menurut JD.Halloran, kominikator massa berlaku juga bagi komunikator politik. Dan menurut James Rosenau adalah “pembuat opini pemerintah” atas “hal ihwal nasional yang multimasalah”.
Klasifikasi tersebut adalah :
1. Pejabat Eksekutif (Presiden, kabinet, Ka. Penasihat)
2. Pejabat Legislatif (Senator atau DPD, Pimpinan Utama DPR)
3. Pejabat Yudukatif (Para Hakim MA, MK)
Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis.
1. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb.;
2. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang uncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).
3. Aktivis – (a) Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis. (b) Pemuka pendapat (opinion leader) –orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.

MESSAGE (PESAN)
Pesan komunikasi merupakan produk penguasa atau lembaga kekuasaan setelah melalui proses encoding (proses penyusunan ide menjadi simbol atau pesan) atau setelah diformulasikan kedalam simbol-simbol yang sesuai dengan kapasitas sasaran.
Pesan komunikasi politik adalah pesan yang berkaitan dengan peran negara dalam melindungi semua kepentingan masyarakat (warga negara). Bentuk pesannya dapat berupa keputusan, kebijakan, dan peraturan yang menyangkut kepentingan dari keseluruhan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pembicaraan politik, komunikator lebih banyak menggunakan instrumen komunikasi yang meliputi :
1. Lambang
Pembicaraan politik adalah kegiatan simbiotik. Kegiatan ini dapat berupa, (a) pembicaraan otoritas dilambangkan oleh konstitusi, hukum. (b) pembicaraan kekuasaan dilambangkan oleh Parade Militer. (c) Pembicaraan pengaruh dilambangkan oleh Mimbar partai, Slogan, Pidato, editorial.


2. Bahasa
Bahasa dalam komunikasi politik merupakan suatu sarana yang sangat penting yang memiliki fungsi sebagai “cover” bagi isi pesan (content message) yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sehingga pesan tersebut memiliki daya tarik (interest) serta mudah diterima oleh komunikan (masyarakat).
3. Opini Publik (Pendapat Umum)
Pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator politik dilakukan dengan memperhatikan secara seksama pendapat umum atau pendapat yang berkembang dalam realitas keidupan masyarakat yang ada dan mengemuka melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual serta media komunikasi langsung yang berasal dari elemen infrastruktur politik yang mengartikulasi kepentingan masyarakat luas, baik melalui media dialog, diskusi, konsep pemikiran maupun orasi di lapangan (demonstrasi). Semuanya ditujukan untuk memelihara harmonisasi komunikasi antara komunikator politik dengan komunikan atau khalayak (masyarakat).

MEDIA KOMUNIKASI (SALURAN)
Media komunikasi sebagai alat transformasi pesan-pesan komunikasi dari penguasa kepada masyarakat.
Media komunikasi menjadi pusat perhatian penguasa sebagai alat untuk mendapat legitimasi rakyat di dalam memperkuat kedudukan penguasa melalui informasi- informasi yang disampaikan.
Dalam menyampaikan komunikasi politik para komunikator politik mrnggunakan saluran komunikasi politik dan saluran komunikasi persuasif politik yang memiliki kemampuan menjangkau lapisan masyarakat, bangsa, dan negara.
Tipe-tipe saluran kominikasi politik yang dimaksud meliputi:
1) Komunikasi massa
Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada komunikan (khalayak) melalui media komunikasi massa, seperti surat kabar, radio, televisi.

2) Komunikasi Interpersonal
Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator kepada komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face). Contohnya dialog, lobby, komfrensi tingkat tinggi (KTT), temui publik, rapat umum, konfrensi pers, dan lain-lain.
3) Komunikasi Organisasi
Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politk kepada komunikan (khalayak) atau komunikasi vertikal (dari atas ke bawah) dan horizontal (dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya komunikasi antar sesama atasan, dan komunikasi sesama bawahan (staf), serta komunikasi berperantara (pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, news letter, lokakarya).
Adapun tipe saluran komunikasi persuasif politik adalah meliputi:
1. Kampanye massa
Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program asas, platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada calon pemilih (calon konstituen) melaui media massa, cetak, radio, maupun televisi, agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya kesejahteraan seluruh petani, akan terwujud apabila memilih partai politik yang saya pimpin menang pemilu.
2. Kampanye Interpersonal
Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh kemunikator politik kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon konstituen) agar menyerukan untuk memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya Dialog dan Lobby Ketua Tim Sukses Capres-cawapres SBY-JK kepada Ketua Umum Partai Politik Bintang Reformasi dan tim lain kepada partai politik lain.
3. Kampanye Organisasi
Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh kemunikator politik kepada kader, fungsionaris, dan anggota dalam satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya Ketua Partai Politik memberi pesan persuasif kepada anggotanya (vertiakal), dan atau antar sesama anggotanya (horizontal).

EFEK (UMPAN BALIK/ FEEDBACK)
Menurut Ball Rokeah dan De Fleur, akibat (efek) potensial komunikasi dapat dikategorikan dalam tiga macam, yaitu:
1. Akibat (efek) kognitif
Yaitu efek yang berkaitan dengan pengetahuan komunikan terhadap pesan yang disampaikan. Dalam kaitannya dengan kominikasi plitik, efek yang timbul adalah menciptakan dan memecahkan ambiguitas dalam pikiran orang, menyajikan bahan mentah bagi interpretasi personal, memperluas realitas sosial dan politik, menyusun agenda, media juga bermain di atas sistem kepercayaan orang.
2. Akibat (efek) afektif
Yaitu efek yang berkaitan dengan pemahaman komunikan terhadap pesan yang disampaikan.
Dalam hal ini ada 3 efek komunikasi politik yang timbul, yaitu:
a. Seseorang dapat menjernihkan atau mengkristalkan nilai politik melalui komunikasi politik
b. Komunikais bisa memperkuat nilai komunikasi politik
c. Komunikasi poltik bisa memperkecil nilai yang dianut
3. Akibat Konatif (perubahan prilaku)
Yaitu efek yang berkaitan dengan perubahan prilaku dalam melaksanakan pesan komunikasi olitik yang dierimanya dari komunikator politik
Perwujuadan efek komunikasi poliik yang timbul adalah dapat berupa “partisipasi politik” nyata untuk memberikan suara dalam pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil Presiden dan aau bersedia melaksanakan kebijakan serta keputusan politik yang dikomunikasikan oleh komunikator politik.
KOMUNIKAN (PENDENGAR)
Komunikan atau khlayak dalam komunikasi politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam infrasturktur atau suprastruktu politik. Atau dengan kata lain semua komunikan yang secara hukum terikat oleh konstitusi, hukum, dan ruang lingkup komunikator suatu negara.
Komunikan dapat bersifat individual atau perorangan, dapat juga berupa institusi, organisasi, masyarakat secara keseluruhan, partai politik atau negara lain.
Apabila komunikan dijadikan sebagai objek dengan berbagai ketentuan normatif yang mengikatnya, sehingga komunikasi tidak memiliki ruang gerak yang bebas, dapat dipastikan bahwa proses komunikasi berada dalam sistem totaliter. Sebaliknya apabila komunikan bukan hanya sebagai objek tapi dijadikan partner bagi komunikator, sehingga pertukaran pesan-pesan komunikasi dalam frekuensi tinggi, maka dapat dipastikan bahwa sitem politik yang melandasi proses komunikasi tersebut berada pada sistem demokrasi. Tolok ukur ini dapat pula digunakan bagi perkembangan pendapat umum (public opinion) atau feedback (umpan balik). Dalam sistem totaliter baik pendapat umum atau umpan balik hampir tidak berfungsi. Sedangkan dalam sisem demokrasi pendapat umum atau umpan balik dijadikan alasan sebagai masukan (input) bagi penguasa untuk menyempurnakan kebijaksanaan komunikasi pemerintah.

2.3. HAKIKAT KOMUNIKASI POLITIK
2.3.1. Pokok – Pokok Komunikasi Politik
Dalam memahami dan mendalami komunikasi politk, perlu terlebih dahulu mengetahui dan mempelajari hakikat komunikasi yang meliputi pengertian, unsur, dan fungsi dari komunikasi politik. Pembahasan mengenai hakikat komunikasi yang meliputi hal diatas adalah sebagai berikut:
a. Pengertian komunikasi politik
Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama melalui lembaga politik (Astrid S. Susanto).
(Telah dijelaskan di 2.1 Pengertian Komunikasi Politik)
b. Unsur-unsur Komunikasi Politik
Menurut Drs. Sumarno, AP, unsur komunikasi politik meliputi dua unsur, yaitu:
1) Unsur Komunikasi Politik dalam Lembaga Suprastruktur
Dalam unsur ini terdiri dari tiga kelompok yaitu yang berada pada lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Pada ketiga kelompok tersebut terdiri dari elit politik, elit militer, teknokrat, dan profesional group.
2) Unsur Komunikasi Politik dalam Lembaga Infrastruktur Politik
Dalam unsur ini terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:
a) Partai politik
b) Interest group
c) Media komunikasi politik
d) Kelompok wartawan (sebagai within-put)
e) Kelompok mahasiswa (sebagai within-put)
f) Para tokoh politik

c. Fungsi Komunikasi Politik
Fungsi komunikasi poitk dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
1) Aspek Totalitas
Fungsi komunikasi politik dalam aspek totalitas adalah mewujudkan suatu kondisi negara yang stabil dengan terhindar dari faktor-faktor negatif yang mengganggu keutuhan nasional.
Artinya bahwa negara berkewajiban menyampaikan komunikasi politik kepada masyarakat secara terbuka (transparan) serta menyeluruh (komprehensif) serta menghilangkan hambatan (barier) komunikasi antara negara dengan masyarakat sehingga tercipta hubungan yang harmonis diantara keduanya.


2) Aspek Hubungan Suprastruktur dan Infrastruktur Politik
Fungsi komunikasi politik dalam hubungan suprastruktur dan infrastruktur politik adalah sebagai jembatan penghubung antara kedua suasana tersebut dalam totalitas nasional yang bersifat independen dalam berlangsungnya suatu sistem pada ruang lingkup negara.
Artinya bahwa pemerintah berkewajiban menyampaikan (artikulasi) semua kebijakan dan keputusan politik kepada masyarakat dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Aspek yang dimaksud adalah aspek ideologi, ekonomi, sosial politik, hukum, dan hankam serta aspek lain yng berhubungan dengan sikap dan perilaku politik Indonesia kepada pihak internasional (luar negeri).

2.3.2. Konsep Pembahasan Komunikasi Politik
Menurut ilmuwan komunikasi, pembagian teori komunikasi dalam beberapa konsep disesuaikan dengan sistem poliik yang berlaku pada negara yang bersangkutan. W. L. Rivers, W. Schramm dan C. G. Cristians dalam bukunya “ Responsibility in Mass Communications” membagi tiga konsep, yaitu:
1) Authoritharianism
Konsep komunikasi politik dalam sistem Authoritharianism adalah komunikasi politik dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur dan infrastruktur.
Artinya, Negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi atau bahkan hanya bisa menerima semua pesan komunikasi politik yan disampaikan oleh negara aau pemerintah.
Contoh: Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Sosialis Komunis
2) Liberitarianism
Konsep komunikasi politik dalam sistem Liberitarianism adalah komunikasi politik dimana lembaga infrastruktur politik memiliki kewenangan yang bersifat besar untuk mengatur bahkan menguasai sistem komunikasi politk yang menghubungkan antara suprastruktur dan infrastruktur politik.
Artinya, Masyarakat (society) lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik dalam kehidupan masyarakat dan negara. Negara hanya memiliki daya untuk memantau atau mengendalikan sistem komunikasi agar tidak melanggar semua aturan atau hukum yang berlaku dalam negara yang dapat berakibat kerugian pada masyarakat umum.
Contoh : Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Demokrasi.
3) Social Responsibility Theory
Konsep komunikasi politik dalam sistem Social Responsibility Theory adalah komunikasi politik dimana lembaga suprastruktur politik mengatur bahkan menguasai sebagian besar sistem komunikasi politik yang menghubungkan antara suprastruktur dan infrastruktur.
Artinya, Negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi politik atau bahkan hanya dapat menerima sebagian besar pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara atau pemerintah.
Contoh : Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Sosialis Demokrat.

2.4. PERILAKU PENGUASA

Seorang penguasa haruslah dapat memberikan kebijakan-kebijakan yang adil serta menyelesaikan masalah dengan tepat. Tapi dapat dilihat dari para penguasa saat ini, kebanyakan dari mereka kurang dapat memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahannya. Masih banyak dari kebijakan penguasa merugikan banyak pihak serta lebih menguntungkan pihak lainnya. Biasanya yang menjadi korban ketiadkadilan dari penguasa adalah rakyat kecil yang semakin hari semakin susah menjalani kehidupan. Akibatnya banyak rakyat kecil yang menderita gizi buruk, dan tingkat penggaguran yang tinggi. Maka dari itu, penguasa haruslah mencerminkan keadilannya. Saling menguntungkan semua pihak dan meminimalkan akibat yang bersifat merugikan.
Dalam kajian komunikasi politik sikap perilaku penguasa (elit berkuasa pemerintah) merupakan pokok bahasan utama, karena para penguasa sangat menentukan berlangsungnya proses komunikasi. Pada tangga tertentu sikap perilaku merupakan warna dominan dan merupakan tolok ukur untuk menentukan dalam sistem politik apa proses komunikasi itu berlangsung. Sikap perilaku penguasa memberi dampak cukup berarti terhadap lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi baik yang berada dalam struktur formal, maupun yang berkembang dalam masyarakat. Terutama bagaimana sikap terhadap pendapat umum apakah mendapat tempat cukup bebas untuk mengembangkan fungsi dan kompetensinya sebagai input bagi penguasa, atau sebaliknya bahwa pendapat umum sebagai faktor yang membahayakan bagi kedudukan penguasa, sehingga pendapat umum berada pada ruang gerak yang kaku dan terbatas. Karena itu dalam kajian komunikasi politik sikap penguasa terhadap pendapat umum dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan dalam sistem politik apa pendapat umum itu berada. Untuk memperoleh rujukan lebih lengkap Anda dapat pahami dalam kajian berikut.

1. Teori Elit Politik
Banyak teoritisi dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial mengangkat bahasan tentang penguasa, di antaranya menggunakan istilah elit berkuasa, pemimpin, The Great Man dan banyak lagi. Di antara sekian banyak istilah yang paling sering digunakan yaitu elit berkuasa dan istilah pemimpin terutama dalam modul ini. Istilah elit khususnya elit politik dikembangkan oleh Vilfedro Pareto (1848-1923) sebagai sinisme terhadap kekuasaan aristokrat. Pareto mengembangkan konsep "residu"-nya yang didasarkan pada tindakan logisdan tindakan non-logis (S.P. Varma menempatkan logis dan non-logis lebih daripada rasional dan non-rasional). Tindakan logis yaitu tindakan-tindakan yang mempunyai arah tujuan. Sedangkan non-logis yaitu tindakan-tindakan yang tidak di arahkan kepada suatu tujuan. Pareto mengikatkan kepentingan utamanya pada residu kombinasi dan residu keuletan bersama. Residu kombinasi diartikan sebagai kelicikan, sedangkan residu keuletan bersama diartikan sebagai kekerasan. Karakteristik penguasa (elit politik) menurut teori residu menunjukkan dalam kesamaan dengan konsep kekuasaan dari Niccolo Machiavelli (1469 - 1527) bukunya I Principe. Menurut Machiavelli bahwa seorang penguasa harus memiliki karakter cerdik seperti Jerapah dan kejam seperti singa. Sifat jerapah tidak menghindar dari terkaman serigala, tapi jerapah dapat menghindar dari jeratan. Sedangkan singa tidak dapat menghindar dari jeratan, tapi ia dapat mengejutkan serigala. Dari kedua konsep pemikiran tersebut nampak kecenderungan kepada sistem politik totaliter, baik totaliter tradisional maupun totaliter modern. Totaliter tradisional dialamatkan pada bentuk Monarki sedangkan totaliter modern dialamatkan pada bentuk Fasis, Nazi dan Komunis. Teori elit dikembangkan oleh Gaetano Mosca (1858 - 1941) berdasar disiplin ilmu yang dimilikinya yaitu sebagai psikolog dan sosiolog. Mosca mengkualifikasikan elit ini ke dalam dua status, yaitu elit yang berada dalam struktur kekuasaan dan elit masyarakat. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik.
Dalam proses komunikasi elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi, sekaligus mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi yang mengalir secara vertikal maupun horisontal.
Elit berkuasa selalu menjalin komunikasi dengan elit masyarakat untuk memperkuat kedudukannya dan mempertahankan status quo.
Teori elit politik ini diperkuat oleh Ortega Y. Gasset (1833 - 1955) dalam bukunya Obras Completas dalam bahasa Spanyol. Ortega mengembangkan teorinya tentang massa. Menurut Ortega kebesaran suatu bangsa bergantung kepada kemampuan rakyat, masyarakat umum, kerumunan, massa untuk menemukan simbol dalam orang pilihan tertentu.
"Orang pilihan" adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang membimbing massa. Orang yang tidak terpilih adalah efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Selanjutnya Ortega menyatakan bahwa suatu bangsa merupakan suatu massa manusia yang terorganisasi, dan disusun oleh suatu minoritas individu yang terpilih (lihat S.P. Varma, 208).
Dari hasil pemikiran para ilmuwan tersebut pada prinsipnya menempatkan elit ke dalam dua status yang berbeda, yaitu elit pemerintah (elit berkuasa) dan elit masyarakat. Elit berkuasa merupakan kelompok kecil yang dapat menentukan arah kehidupan negara. Sedangkan elit masyarakat merupakan elit yang dapat mempengaruhi masyarakat lingkungan di dalam mendukung atau menolak segala kebijaksanaan elit berkuasa. Karena itu elit berkuasa sangat berkepentingan untuk menjalin komunikasi dengan elit masyarakat di dalam upaya mewujudkan ideal kekuasaan.
Ideal kekuasaan dapat dalam warna totaliter, dapat pula dalam warna demokrasi. Hal ini akan sangat bergantung pada sistem politik yang dianutnya.
Dalam kaitan elit politik, Karl Mannheim (1893 - 1947) dalam buku berjudul Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge, menghubungkan teori-teori elit dengan fasisme dan anti intelektualisme. Mannheim membenarkan teori Pareto tentang kekuasaan politik selalu dijalankan oleh minoritas (elit). Dalam pemikiran Mannheim terdapat pula pemikiran-pemikiran demokratis. Hal ini dapat diperhatikan dari ungkapannya bahwa: Pembentukan kebijakan sebetulnya ada di tangan elit, tetapi hal ini bukan berarti masyarakat tidak demokratis. Menurut Mannheim bahwa dalam negara demokrasi, masyarakat secara individual terbuka kesempatan untuk menjalankan pemerintahan, paling tidak individu dapat menyalurkan aspirasinya. Hal ini mengandung makna bahwa kelompok bawah dapat menggeser elit berkuasa selama mendapat dukungan masyarakat. Kelompok ini akan merupakan elit baru yang memegang puncak kekuasaan.
Tipe elit tidak dapat digeneralisasikan ke dalam satu macam tipe, sebagaimana diungkap oleh Schoorl dalam bukunya Sosiologi dan Pembangunan (alih bahasa dari Sosiologie der Modernisering) mengangkat lima tipe elit, yaitu:
a. elit kelas menengah;
b. elit dinasti;
c. elit kolonial;
d. kaum intelek revolusioner;
e. pemimpin-pemimpin nasional
Pertama, elit menengah. Elit ini berasal dari kelompok pedagang dan tukang yang termasuk golongan minoritas keagamaan atau kebangsaan. Pola keyakinan atau ideologi elit ini mudah berubah dan bersifat individualistis. Struktur masyarakat yang dicita-citakan bersifat bebas dan terbuka terhadap inisiatif dan aktivitas swasta.
Kedua, elit dinasti. Elit ini sebagai elit aristokrat yang mempertahankan tradisi dan status quo. Tradisi pulalah yang dijadikan dasar untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan. Negara-negara yang termasuk elit ini, seperti: Jepang, Jerman, Iran dan beberapa di kawasan Amerika Latin, Timur Tengah dan sebagian kecil di kawasan Asia.
Ketiga, elit revolusioner. Elit ini berpandangan bahwa nilai-nilai lama perlu dihapus karena tidak cocok dengan tingkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Elit ini berupaya mewujudkan suatu sistem sosial politik baru yang diabdikan untuk kepentingan revolusi. Perhatikan negara-negara komunis seperti Libia, Cekoslovakia, dan lain-lain (juga Uni Soviet sebagai negara nasional sebelum musnah di penghujung tahun 1991).
Keempat, elit nasionalistik. Elit ini merupakan kelompok pluralis, sehingga mudah mengundang konflik antar pluralis. Adakalanya elit ini sering bertindak tidak atas dasar kenyataan. Elit ini timbul dari kegiatan sosio politik melawan penjajahan.
Kelima, adalah elit kolonial. Elit ini jarang mendapat kajian yang karena dianggap kurang bermanfaat dan tidak memberi kontribusi terhadap referensi ilmu pengetahuan. Namun demikian sekedar untuk mengetahui bagaimana pengaruh elit kolonial terhadap proses komunikasi, berikut ini penulis mengangkat teori yang diungkap Galtung tentang teori "Centrum dan Peri-peri" sebagai penyempurnaan teori imperialisme. Menurut Galtung, dua prinsip mekanisme untuk menciptakan dan memelihara imperialisme, yaitu:
a. Prinsip relasi interaksi vertikal.
b. Prinsip struktur interaksi feodal.
Dua prinsip yang diangkat Galtung, dijadikan tipe imperialisme dalam berbagai bidang, yaitu bidang politik, ekonomi dan militer.
Dalam bahasan ini penulis hanya mengangkat prinsip struktur feodal yang diragakan dalam suatu ragaan berikut ini:








Keterangan:
C = Negara Centrum (Imperialis, Kolonialis)
P = Negara Periferi (Negara yang bersifat ketergantungan, negara koloni
atau jajahan).

Dari ragaan tersebut Anda dengan jelas dapat melihat bahwa negara jajahan tidak dapat mengadakan komunikasi dengan jajahan lainnya (= dalam konteks komunikasi internasional), kecuali hanya dapat mengadakan komunikasi atau relasi dengan negara penjajah sebagai negara Centrum.
Dengan bergesernya isu global dari isu ideologi ke isu hak-hak asasi manusia sebagai akibat perubahan peta politik global (polarisasi ideologis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat), maka konsep ini telah banyak ditinggalkan oleh berbagai negara di kawasan global ini.
Ungkapan di atas memberi suatu informasi bahwa peran elit, bagaimana pun bentuk dan tipenya selalu menempati posisi penting, sikap perilaku memberi warna dominan terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Pada umumnya setiap elit berupaya untuk menguasai dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi untuk mempertahankan status quo-nya.

2. Teori Kepemimpinan
Cecil A. Gibb menyatakan bahwa ahli pikir telah memusatkan perhatian terhadap kepemimpinan ini sejak zaman Confuscius. Setelah itu banyak rumusan dan teori kepemimpinan yang diungkap oleh para ilmuwan dan para pemikir lainnya.
Dari sekian banyak teori kepemimpinan pada prinsipnya meliputi empat macam teori, yaitu: Unitary Traits Theory, Constellation of Traits Theory, Situational Theory dan Interaction Theory. Teori pertama, menunjukkan bahwa seorang pemimpin selalu memiliki karakter tertentu sebagai faktor pembeda terhadap masyarakat biasa. Teori ini disebut pula teori orang besar (the great man theory) yang memunculkan keistimewaan sikap perilaku. Contoh Napoleon Bonaparte (1769 - 1981), seorang prajurit Perancis yang mampu menjadi seorang Kaisar Perancis, Alexander The Great (356 - 323 SM) terkenal keberaniannya di dalam memenangkan peperangan dan lain-lain.
Teori kedua, Constellation of Traits Theory yaitu teori yang memunculkan ciri-ciri seorang pemimpin yang mempunyai nilai secara psikis dan fisik.
Teori ketiga, Situational theory yaitu teori kepemimpinan yang ditentukan oleh situasi waktu dan tempat. Teori ini sebenarnya tidak mampu menggeneralisasikan tipe pemimpin yang muncul pada waktu berbeda.
Teori keempat, Interaction Theory yaitu teori yang mempelajari dampak interaksi, sehingga pemimpin dalam aktivitasnya merupakan replika atau cerminan dari pengikutnya dan masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka.
Teori-teori tersebut pada akhirnya bermuara pada sikap dan perilaku pemimpin. Seorang pemimpin dituntut mampu mengonstruksi nilai-nilai ideal ke dalam kenyataan empiris yang dapat ditransformasi kepada pengikut dan masyarakat sekitarnya. Dampak yang lebih luas diharapkan agar para pengikut tersebut mampu meng-encode (memformulasikan ke dalam simbol-simbol) ulang sesuai kapasitas masyarakat, sehingga tumbuh sikap positif sebagai dukungan terhadap kedudukan pemimpin dalam melakukan seluruh kebijaksanaannya. Seorang pemimpin yang berhasil bukan hanya diukur oleh hasil yang dicapai selama masa jabatannya, namun sampai batas mana dapat membentuk citra positif terhadap pribadi pemimpin tersebut, sehingga ia dijadikan cerminan bagi pemimpin-pemimpin berikutnya.
Menurut Dan Nimmo pemimpin yang berhasil yaitu pemimpin yang mendapat dukungan dari semua unsur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Pemimpin semacam ini Dan Nimmo menyebutnya sebagai symbolic leader (pemimpin simbolik).
Dalam praktek, kepemimpinan simbolik harus tampil sebagai penggugah imajinasi dan sebagai simbol aktivitas kehidupan. Ia bagaikan seorang actor yang bermain di pentas panggung drama yang mampu menghanyutkan emosi semua penonton ke dalam alur cerita yang dipentaskan. Ia dapat mentransformasi problem kehidupan ke dalam kenyataan empiris yang dapat diterima para pengikut dan masyarakat umum. Kemampuan mentransformasi adalah kemampuan berkomunikasi, kemampuan membentuk sikap dan perilaku khalayak, masyarakat yang mendukung terhadap aktivitas kepemimpinannya. Minat para teoritisi dan ilmuwan sangat tinggi intensitasnya di dalam menekuni masalah kepemimpinan (terutama kepemimpinan negara), karena kewenangan dan kekuasaan yang melekat pada pemimpin, dapat menentukan nasib berjuta-juta bahkan beratus juta umat manusia. Karena itu kekuasaan adalah hakikat kepemimpinan yang mampu menggunakan kekuasaan tersebut. Kekuasaan sebagai batu penguji bagi pemimpin untuk mempelajari dampak yang ditimbulkan dari dirinya terhadap orang lain (lihat Natemeyer, 1978: 166).
Kekuasaan yang melekat pada pemimpin dapat diperhatikan dari berbagai landasan, yaitu:
a.Expert power, kekuasaan yang berlandaskan pada suatu persepsi bahwa pemimpin harus memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu.
b.Referent power, kekuasaan yang berlandaskan pada kesenangan, kekaguman pengikut, sehingga mengidentifikasikan diri mereka terhadap pemimpin.
c.Reward power, kekuasaan yang berlandaskan pada keahlian dalam menggunakan metode penghargaan terhadap pengikut dan masyarakatnya.
d.Legimate power, kekuasaan yang berlandaskan pada suatu persepsi pengikutnya bahwa pemimpin memiliki legalitas atau kewenangan untuk melaksanakan pengaruh-pengaruh atas mereka.
e.Coersive power, kekuasaan yang berlandaskan pada rasa takut dari para pengikutnya yang tidak mengindahkan keinginan pimpinan yang selalu disertai hukuman (lihat Astrid, 1975).

Kelima dasar kekuasaan tersebut dalam praktek adakalanya diaktualisasikan sekaligus sesuai kondisi dan situasi serta sistem nilai yang melandasinya. Kekuasaan pada prinsipnya selalu melekat pada struktur kekuasaan. Struktur inilah yang menentukan luas lingkup kekuasaan dan wewenang pimpinan. Astrid S. Soesanto dalam judul bukunya Filsafat Komunikasi mengangkat pendapat Form dan Miler tentang struktur kekuasaan yang membaginya ke dalam lima bagian, yaitu:
a.Struktur yang tersebar di masyarakat dan wewenang lembaga-lembaga sosial.
b.Kekuasaan pengambilan keputusan yang dipegang oleh lembaga-lembaga sosial lokal.
c.Kekuasaan yang berada pada grup-grup informasi yang mengambil sikap terhadap suatu masalah yang aktual.
d.Kekuasaan yang dipegang oleh kelompok yang paling menentukan dalam suatu masyarakat yang luas.
e.Kekuasaan yang berada pada kelompok yang mempunyai lingkungan pengaruh yang luas.
Struktur kekuasaan sebagaimana diungkap di atas menentukan lingkup kewenangan dan kekuasaan di dalam menentukan kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat negara). Kekuasaan yang tertinggi berada pada negara, karena diberi atribut kekuasaan mengatur kepentingan umum atau kepentingan warga negara, tidak pernah atribut ini diberikan pada struktur kekuasaan lain.
Kekuasaan negara yang diaktualisasikan ke dalam wujud pemerintahan akan selalu berorientasi kepada tujuan negara, sehingga semua aspek kehidupan negara termasuk di dalamnya pengendalian sumber-sumber komunikasi terarah pada upaya tercapainya tujuan negara.
Dari ungkapan di atas Anda dapat melihat bahwa, kekuasaan akan memberi warna dominan terhadap proses komunikasi baik yang berlangsung dalam struktur formal maupun yang berkembang di dalam masyarakat.
Karena itu kepemimpinan elit berkuasa sekaligus dengan sistem kekuasaannya sebagai objek kajian komunikasi politik, karena berlangsung tidaknya proses komunikasi sesuai dengan hukum-hukum komunikasi atau nilai-nilai normatif yang melandasinya, dan sedikit banyaknya bergantung kepada perilaku elit atau pemimpin yang mengoperasikan kekuasaannya.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi politik (political communication) adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan seperangkat simbol-simbol yang berarti yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah."
Unsur-unsur komunikasi yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses komunikasi yaitu unsur komunikator, karena komunikator dapat mewarnai dan mengubah arah tujuan komunikasi. Sikap prilaku penguasa (elit politik) memberi dampak cukup berarti terhadap lalu lintas transformasi pesan-pesan kominikasi baik yang berada dalam dalam struktur formal, maupun yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai elit berkuasa ia mampu mengendalikan dan menjalankan kontrol politik, sekaligus mengendalikan sumber-sumber komunikasi. Setiap pemimpin dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi, membentuk sikap dan prilaku khalayak, masyarakat yang mendukung terhadap aktivitas pemimpinannya.

3.2 Saran
Kebesaran suatu bangsa bergantung pada kemampuan rakyat, masyarakat umum, dan massa untuk menemukan simbol dalam orang pilihan, karena orang pilihanlah yang mampu membimbing massa.
Kita sebagai mahasiswa sekaligus masyarakat umum harus jeli dalam memilih calon pemimpin bangsa. Ajang pemilihan umum merupakan pesta demokrasi bagi rakyat, adalah salah satu jalan untuk menentukan orang pilihan yang mampu memimpin bangsa dan membimbing rakyat. Untuk itu, gunakan hak pilih kita dengan sebaik-baiknya. Karena satu suara sangat menentukan nasib bangsa kita ke depannya.



Daftar Pustaka

1. Romeltea. 2009. Komunikasi Politik_Romeltea Magazine.. http://www.romeltea.com/?p=170. 02/05/2009 12.58
2. Sukosd, Miklos.2008.Political Communication_Intro.ppt. http://www.abdn.ac.uk/pir/notes05/Level4/PI4052/Political%20Communication_Intro.ppt02/05/2009 15.37
3. Sukosd, Miklos. 2008. Political Communication,pdf. http://www.hc.ceu.hu/polsci/syllabi/0809/MA/fall/PoliticalCommunication.pdf. 02/05/2009 15.58
4. Ian, Coldwell. 2001. The Ethics Political Communication, pdf. http://www.psa.ac.uk/journals/pdf/5/2002/coldwell.pdf. 02/05/2009 12.58
5. Rachman, A. 2009. Komunikasi Politik. http://www.pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files modul. 02/05/2009 14.35
6. Political Communication on Television. http://www.epra.org/content/english/press/papers/epra0002.doc.02/05/2009 14.28
7. Massofa. 2008. Teori Pendekatan Komunikasi Politik. http://www. massofa.wordpress.com. 06/05/2009 14.30
8. Coleman, Stephen. 2001. „E-Politics: democracy or marketing?” Voxpolitics.com http://www.voxpolitics.com/news/voxfpub/story266.shtml
9. Soemarno. 2009. Komunikasi Politik.LKP. http://dc123.4shared.com/download/83545952/bdcceafa/Komunikasi_PolitikLKP.rar?tsid=20090502
10. Adzkiya. 2008. Penguasa yang Adil. http://adzkiya.blog.uns.ac.id/2008/12/19/penguasa-yang-adil. 06/05/2009 14.16
11. Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun. (1993.) Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.
12. Astrid S. Susanto. (1975). Komunikasi Sosial. Jakarta: Bima Cipta.

Saatnya Perawat Terjun Ke Dunia Politik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Berbicara tentang keperawatan berarti berbicara tentang keperawatan pada satu waktu tertentu, dan dalam hal ini, bab ini akan membicarakan tentang “Peran Perawat di Bidang Politik”.
Satu trend dalam pendidikan keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta didik keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan dasar di sekolah dan Universitas. Organisasi keperawatan professional terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan bagi perawat dalam mendapatkan dan memperluas peran baru.
Trend praktik keperawatan meliputi berkembangnya berbagai tempat praktik dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus-menerus meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota dari tim asuhan kesehatan. Peran perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan.
Trend dalam keperawatan sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-sapek dari keperawatan yang mengkarakteristikkan keperawatan sebagai profesi, meliputi pendidikan, teori, pelayanan, otonomi dan kode etik. Aktivitas dari organisasi professional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktik keperawatan kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana kontroversi strategi pendidikan keperawatan di era globalisasi ini?
2) Bagaimana strategi pelayanan keperawatan di era globalisasi ini?
3) Bagaimana sistem penataan praktek keperawatan di Indonesia?
4) Bagaimana etika politik perawat dalam merawat pasien?
5) Bagaimana perbedaan model zaman sekarang dalam etika profesional?
6) Apa yang dilakukan seorang perawat di dunia politik?
7) Apa PPNI itu?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui politik keperawatan di era globalisasi
2) Agar perawat dapat mengaplikasikan etika politiknya dalam merawat pasien
3) Untuk mengetahui trend politik keperawatan saat ini
4) Untuk mengetahui tatanan pelayanan keperawatan profesional
5) Untuk mengetahui organisasi keperawatan di Indonesia












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kontroversi Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi
Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.
Salah satu tolok ukur kwalitas dari perawat dipercaturan Internasional adalah kemampuanuntuk dapat lulus dalam Ujian Kompetensi Keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan CGFNS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Di Kuwait pernah terjadi fakta yang memalukan sekaligus menjatuhkan kredibilitas bangsa terutama system pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia memiliki permasalahan yang berkaitan dengan Higher Education bagi perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait
Hal tersebut lebih disebabkan karena system pendidikan keperawatan kita yang sangat bervariasi. Efek yang paling buruk dari hal tersebut adalah tidak diakuinya perawat yang memiliki ijazah S1 Keperawatan (S.Kep) dan mereka hanya disamakan dengan D3 Keperawatan. Institusi pendidikan keperawatan harus dilakukan perubahan secara total antara lain:
a. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.
b. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa Inggris.
c. Menutup Institusi pendidikan keperawatan yang tidak berkualitas.
d. Institusi pendidikan keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.
e. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di Institusi pendidikan keperawatan.
f. Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus berbahasa Inggris secara aktif.
g. Memberantas segala jenis KKN di Institusi pendidikan dimulai dari perizinan penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.
2.2 Strategi Pelayanan Keperawatan di Era Globalisasi
Praktek keperawatan sebagai tindakan professional harus didasarkan pada penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan di jadikan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostic, menyusun perencanaan, malaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Medis/Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada seperti belum di tetapkannya RUU Keperawatan serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Indonesia.
c. Minimnya penghargaan financial dari pihak-pihak terkait terhadap perawat.
d. Kurang optimalnya perannya organisasi profesi keperawatan.
e. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perawat dan keperawatan yang lebih disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat berkaitan tentang profesi perawat dan keperawatan terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda denagn “dokter”.
Sementara itu, dunia Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat bekerja selama 24 jam 1 hari dalam 2 atau 3 shift, sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sebagai perbandingan perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait mendapatkan gaji berkisar Rp.15 juta s/d Rp.24 juta sebulan, sedangkan rekan-rekan perawat yang bekerja di Indonesia jauh dibawah kebutuhan hidup mereka.
Beberapa contoh diatas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain. Perawat mutlak sangat di perlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Kita harus sudah mulai berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah:
a. Penentuan standarisasi gaji untuk perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.
b. Menciptakan system sirkulasi dalam penempatan perawat Indonesia ke luar negeri sehingga pada jangka panjang akan terjadi peningkatan penghargaan dan kesetaraan terhadap profesi keperawatan di Indonesia.
c. Memberikan sanksi kepada Rumah Sakit atau Institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standard.
2.3 Penataan Praktek Keperawatan
Dalam suatu penataan praktek keperawatan perlu adanya undang-undang, maka semua itu harus sesuai dengan standar kompetensi profesi, salah satunya kompetensi perawat ( SKP ) yang sudah diakui secara nasional. Penetapan SKP telah Konvensi Nasional antara BNSP, PPNI, dan Depkes pada tanggal 1-2 Juni 2006 di Gedung Depkes JL. HR Rasuna Said,Kuningan Jakarta Selatan. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional ( ICN, 2003 ) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerka dengan klie individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan asuha keperawatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan social lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjajedi 3 judulkompetensi utama, yaitu Praktek keperawatan profesional, Pemberian asuhan keperawatan dan menejemen keperawatan Pengembangan professional.
Peran profesional perawat tidak akan bisa di capai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara professional. Model praktik keperawatan professional yang dilaksanaka oleh perawat di tatanan pelayanan keperawatan masih mejadi suatu abstraksi. Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus digunakan sebagai tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatansistem pemberian pelayanan kesehatan ke system desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.
Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (D3 Keperawatan) dan berlakunya UU No.23 Tahun 1992,dan PERMENKES No.1239/2000; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan professional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada yaitu: model praktik di Rumah Sakit, rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.
2.4 Etika Politik dalam Merawat Pasien
Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.
Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung jawab professional kita.
Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983).
Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain.
Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”.
Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.
Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien.
Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.
Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama.
2.5 Perbedaan Model Zaman Sekarang untuk Etika Profesional
Adalah sulit untuk menyatukan kembali etika personal yang peduli dengan tipe etika yang diperlukan untuk management sistem pemberian pelayanan kesehatan modern yang kompleks. Hal ini muncul karena tekanan antara perbedaan jenis kompetisi etik dalam kehidupan professional, perbedaan antara: etika keperawatan, etika pelayanan, etika pelayanan public dan etika bisnis.
2.6 Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik
Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi tersebut.
Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan hukum yang berlaku.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan seorang perawat dalam berperan secara aktif maupun pasif dalam dunia politik. Mulai dari kemampuan yang harus dimiliki dalam bidang politik hingga talenta yang harus dimiliki mengenai “Sense of Politic”. Dalam wilkipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan berhak menjadi insane politik dengan mengikuti suatu partai politik , mengikuti ormas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Tidak dipungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satu pun suara yang menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena profesi kita pun membutuhkan penyampaian aspirasi yang patut untuk didengar dan diselesaikannya permasalahan yang ada, yang tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan. Sulitnya menjadikan RUU Keperawatan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative sana.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, diharapkan seorang perawat mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada di profesi keperawatan salah satunya seperti yang disebutkan diatas yaitu mengenai bagaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan tercapainya kualitas perawat bias dipertanggung jawabkan.
Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap periodenya. Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandarisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual, dan menjadi profesi yang dipertimbangkan.
Regulasi kewenangan perawat di lahan kliniktidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat dilahan klinik akan menjadiakan profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadinya malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di kancah perpolitikan Indonesia. Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari embrio yang akan diberikan suntikan ideology dari partai tersebut, ada juga partai yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.
2.7 Organisasi Keperawatan
Partai Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah organisasi keperawatan tingkat nasional yang merupakan wadah bagi semua perawat Indonesia, yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1974.
Menurut catatan yang ada sebelum PPNI, telah terdapat beberapa macam organisasi keperawatan. PPNI pada awalnya terbentuk dari penggabungan beberapa organisasi keperawatan, seperti:
• IPI (Ikatan Perawat Indonesia),
• PPI (Persatuan Perawat Indonesia),
• IGPI (Ikatan Guru Perawat Indonesia),
• IPWI (Ikatan Perawat Wanita Indonesia).
Setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang syah dapat mendaftarkan diri sebagai anggota PPNI dan semua mahasiswa keperawatan yang sedang belajar dapat disebut calon anggota.
PPNI setiap 4 tahun sekali menyelenggarakan musyawarah nasional. Dalam musyawarah ini selain pengurus pusat juga hadir para pejabat dan pengurus cabang. Berbagai masalah keperawatan dibahas dalam MUNAS tersebut yang kemudian memberikan hasil yang berupa rekomendasi atau keputusan organisasi.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi profesi keperawatan harus melakukan 5 fungsi, yaitu:
1. Definisi dan pengaturan professional melalui penyusunan dan penentuan standar pendidikan dan praktik bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktik (lisensi), sertifikat, dan akreditasi. Pengaturan juga dapat dilakukan melalui adopsi kode etik dan norma perilaku (Styles, 1983).
2. Pengembangan dasar pengetahuan untuk praktik dalam komponen luas dan sempit. Sumbangan utama untuk pengembangan ilmu keperawatan telah diberikan oleh berbagai ahli teori. Tujuan utama teori keperawatan adalah netralisasi ilmu keperawatan. Tantangan bagi para perawat di masa depan adalah menggerakkan pertanyaan dan memformulasikan teori dari teori yang telah dipublikasikan ini dan kemudian melakukan uji hipotesa melalui penelitian keperawatan. Karena hanya penelitian yang dapat menentukan manfaat suatu teori, penelitian memberikan sumbangan utama bagi pengembangan pengetahuan keperawatan.
3. Transmisi nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan kepada anggota profesi untuk diterapkan dalam praktik. Fungsi ini dilakukan melalui pendidikan para perawat dan berbagai proses sosialisasi.
4. Komunikasi dan advokasi tentang nilai-nilai dan sumbangsih bidang garap kepada masyarakat dan konstitusi. Fungsi ini menuntut organisasi perawat untuk berbicara pada perawat dari suatu posisi kesepakatan luas. Penting bagi perawat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan UU dan kebijakan pemerintah.
5. Memperhatikan kesejahteraan umum dan social anggota. Fungsi ini dilakukan oleh organisasi perawat dimana organisasi perawat ini memberikan dukungan moral dan social bagi anggota untuk menjalankan peranannya sebagai tenaga professional dan mengatasi masalah professional anggotanya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pada akhir makalah ini kami ingin lebih menegaskan bahwasannya politik harusnya disikapi sacara serius oleh semua pihak agar perawat Indonesia ke depan lebih siap umtuk berkompetisi di era globalisasi. Semua pihak yang terkait harus segera bersinergi dalam rangka menciptakan perbaikan dan perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih baik, pihak – pihak tersebut antara lain adalah:
 Pemerintah
 Swasta
 Organisasi profesi ( PPNI )
 Lembaga pendidikan
 Perawat dan calon perawat
Ada beberapa hal yang menurut kami perlu segera dilakukan agar perbaikan keperawatan di Indonesia dapat segera tercapai, antara lain:
 Pengesahan UU Pratek Keperawatan
 Pembentukan Nursing Council (Nursing Board)
 Reformasi system pendidikan keperawatan Indonesia
 Peningkatan fungsi organisasi profesi








3.2 Saran
Fakta yang ada pada masyarakat, bahwa lulusan perawat masih belum di akui sebagai sosok profesional yang akan mampu memberikan kontribusi yang hebat dalam system pelayanan. Pandangan tersebut harus kita terima dengan lapang dada dan sekaligus sebagai pemicu adrenalin kita untuk membuktikan jati diri kita, bahwa seorang perawat adalah profesional dengan segala atribut yang menyertainya.
Hal yang harus dan terus kita lakukan adalah memperbaiki citra perawat dengan menunjukkan jati diri perawat dengan KOREK API (Komunikasi, Organisatoris, Responsif and Responsible, Efisiensi dan Efectif, Komitmen serta tunjukkan API : Aktualisasi, Produktif,dan Inovatif).














DAFTAR PUSTAKA

 M. Muhammad, Siswanto. 2009. Trend dan Perkenbangan Kebutuhan Pelayanan Keperawatan dalam Persaingan Global. Dalam Simposium Nasional Keperawatan Universitas Airlangga
 Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
 Nursalam. 2007. Manajement Keperawatan. Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika
 Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
 Reformasi Keperawatan Indonesia. Website URL: http: //www.inna-ppni.or.id
 Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta: EGC
 Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global. Website URL: http: // io.ppi-jepang.org
 Lowenberg & Dolgoff. 1988. Ethical Decisions for Social Work Practice. F.E. Peacock Publishers, Inc
 Lancaster, J. 1999. Nursing Issues. In Leading and Managing Change. St. Louis: Mosby Company
 Lindberg, JB., Hunter, ML., Kruszewski, AZ. 1990. Introduction to Nursing: Concept, Issues & Opportunities. Philadelphia: JB Lippincott
 Bartels, JE. 2005. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences
 Burns & Grove. 1999. The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B. Saunders Co
 Buchan, J. & Calman, L. 2007. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Dalam www.icn.ch
 Chitty, K.K. 1997. Proffesional Nursing. Concepts & Challenges . 2ed. Philadelphia: W.B. Saunder Company


 Magnusdottir H. 2005. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming a Foreign Nurse. International Nursing Review
 http://pioners07.blogspot.com/2009/02/saatnya-perawat-terjun-ke-dunia-politik.html
 Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 2 edition

Memahami Seluk Beluk Konflik Antar Etnis

MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS
Oleh: Sugeng Mashudi, S.Kep.,Ns
Diseminarkan pada mata kuliah Sospol dan Masalah Kesehatan
Program Studi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan UMSurabaya


Setelah perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)[1]
Semua harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.


Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81).[2] Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dan keenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.

Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.

Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, ” yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksa berusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.
Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis.[3] Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.[4]
Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritas terhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini, pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.

Kesimpulan sementara
Dengan demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.

Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Banyak hal-hal di atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di atas secepat mungkin (Brown, 1997, hal. 91). Jika keputusan terlambat dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan. Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.
Pada beberapa kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat karena status kekuasaan tidaklah berubah (Brown, 1997, hal. 92). Hal yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai. Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka. Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan konflik di sana.
Pertanyaan reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali. Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan. Secara khusus, menurut Brown, ada enam aspek dari kehidupan komunitas internasional yang mendapatkan pengaruh (Brown, 1997).
(1) Konflik etnis bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi? Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan.
Ketiga, di dalam pertempuran, kelompok militer dan kelompok sipil seringkali bercampur baur, terutama jika pertempuran terjadi di arena terbuka ataupun tempat umum. Dalam situasi itu, korban yang berasal dari masyarakat sipil tidaklah terhindarkan. Dan keempat, konflik antar etnis biasanya merupakan kulminasi dari pertempuran untuk merebut suatu wilayah tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah dari kekuasaan kelompok etnis lainnya, milisia ataupun militer biasanya mengusir masyarakat sipil yang tinggal di daerah tersebut. Pengusiran tersebut bisa dilakukan dengan cara mengancam, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan pembersihan etnis. Menurut Brown, banyak konflik antar etnis melibatkan terjadinya tindak kekerasan massal dan pembantaian sistematis terhadap rakyat sipil (Brown, 1997). Suatu tindakan yang sekarang banyak dikenal sebagai genosida.
Mengapa kita harus peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan, terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.
Alasan lainnya adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi. Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban mereka.
(2) Terjadinya konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan terhadap warga sipil. Misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, ketika perang di Khasmir meletus. Perang antara Armenia dan Azerbaijan membuat sekitar 600.000 orang harus kehilangan tempat tinggal mereka. Perang di Bosnia membuat sekitar 600.000 orang harus meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Balkan. Pengungsi karena konflik-konflik lainnya, seperti di Bhutan, Birma, Kamboja, Iraq, dan Darfur, juga tak kalah besar.
Dengan jumlah sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang.
Kedua, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah, surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah mereka sendiri.
Keempat, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997, hal. 93). Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.
(3) Penggunaan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina. Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa depan tetaplah harus diperhatikan.
Kemungkinan lainnya, menurut Brown, adalah bahwa pemerintah pusat yang terkait dengan konflik yang terjadi mengambil langkah-langkah drastis dengan menggunakan senjata pemusnah massal untuk mempertahankan diri. (Brown, 1997, hal. 94) Semua kejadian ini secara jelas langsung mempengaruhi situasi keamanan internasional. Jika konflik dengan menggunakan senjata pemusnah massal sampai terjadi, maka itu sudah menghancurkan semua perjanjian internasional yang telah dibangun sebelumnya. Contoh paling jelas adalah tentang bagaimana pemerintah Irak menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi pada dekade 1980-an.
(3) Menurut Brown, konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.
Masalah lainnya juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional. Pertama, karena kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar.
Ada efek berantai lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.
(4) Dalam banyak kasus, menurut Brown, pengaruh dari kepentingan-kepentingan negara lain juga bisa mempengaruhi jalannya konflik antar etnis. (Brown, 1997, hal. 96) Misalnya, pada 1990, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke Liberia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terperangkap akibat konflik di sana. Pada tahun yang sama, Perancis dan Belgia mengirimkan tentaranya ke Rwanda dengan alasan yang sama. Amerika Serikat melakukan intervensi pada perang saudara Irak, karena sadar bahwa kepentingan industri mereka akan minyak sedang terancam akibat perang. Hal ini menegaskan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa kepentingan politik dan ekonomi negara lain akan mempengaruhi jalannya konflik antar etnis yang tengah terjadi.
(5) Konflik antar etnis, jika biarkan terus berlangsung, akan mengancam kredibilitas banyak organisasi internasional. Salah satu alasan keberadaan NATO sekarang ini adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan Atlantik Utara, yakni Amerika dan Eropa. Akan tetapi, ketika konflik di Yugoslavia terjadi, organisasi ini nyaris tidak berbuat apapun. Hal yang sama kiranya terjadi, ketika Amerika Serikat melanggar perintah dari PBB untuk tidak melakukan penyerangan ke Irak pada awal abad ke-21. Yang terakhir ini sekaligus membuktikan lemahnya kekuatan politik dan kredibilitas PBB sebagai lembaga internasional yang berusaha menjaga perdamaian dunia. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk bagi dunia internasional, karena dengan mudah suatu negara bisa menciptakan konflik tanpa ada halangan apapun dari komunitas internasional yang seharusnya memiliki otoritas untuk mencegahnya.
Secara umum, pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma etis internasional akan memotong semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kehidupan bersama di level internasional. Dengan kata lain, konflik antar etnis yang dibiarkan berlanjut tanpa intervensi akan mengancam tidak hanya keberadaan tatanan regional, tetapi juga kredibilitas tatanan internasional sebagai keseluruhan. (Brown, 1997)

Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir akibat dari konflik antar etnis, yang seringkali memiliki cangkupan kekerasan yang luas? Pandangan umum mengatakan, bahwa pihak asing tidak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan menghadapi konflik antar etnis, karena konflik ini tepat berakar pada kebencian yang diwariskan dari masa lalu yang partikular. Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik, serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya sendiri. (Brown, 1997, hal. 97) Di samping itu, penyebab dari terjadinya konflik antar etnis juga sangatlah banyak. Beberapa aspek juga bisa memperbesar skala kekerasan di dalam konflik yang tengah terjadi. Aspek-aspek tersebut juga seringkali merupakan hasil dari pengaruh “kekuatan asing” di luar etnis-etnis yang tengah berseteru.
Menurut Brown, cara yang paling tepat untuk menghadapi konflik antar etnis adalah dengan menanganinya sedini mungkin, sebelum masalah menjadi semakin rumit, dan kekerasan yang lebih besar terjadi. (Brown, 1997) Lebih dari itu, pencegahan terjadinya konflik etnis jauh lebih baik daripada berusaha menyelesaikan apa yang telah terjadi.
Pada level ini, ada baiknya saya mengajukan satu pertanyaan penting, yakni apakah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak luar untuk meredakan tegangan yang muncul akibat terjadinya konflik antar etnis? Pada level sistemik, hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah soal isu keamanan. Jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi salah satu kelompok yang tengah dalam konflik, maka kemungkinan besar, senjata tersebut justru akan meningkatkan intensitas konflik yang terjadi. Tindakan ini juga akan dianggap sebagai ancaman dari kelompok lainnya.
Di samping itu, jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi kedua belah pihak yang tengah berkonflik, supaya terjadi keseimbangan kekuatan, maka hal ini jugalah problematis. Potensi korban dan ketegangan politis untuk akan bertambah. Dengan demikian, tindak pemberian senjata bagi kelompok apapun di dalam konflik antar etnis adalah suatu tindakan yang kontra produktif, baik bagi kedua kelompok yang tengah berseteru, maupun bagi komunitas internasional yang pasti akan terpengaruh oleh konflik tersebut.
Pada level domestik, menurut Brown, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. (Brown, 1997, 98) Pertama, komunitas internasional haruslah berusaha membantu kelompok yang dominan di dalam konflik untuk menciptakan negara efektif (effective states). Negara efektif adalah negara yang didasarkan tidak lagi melulu pada nasionalisme, tetapi lebih pada kesepakatan bersama yang kemudian dilegalisasi di dalam hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Dengan terbentuknya negara efektif ini, nasionalisme semu dan etnosentrisme pun akan berkurang intensitasnya. Akan tetapi, komunitas internasional juga harus berhati-hati, jangan sampai pembentukan negara efektif ini malah jatuh ke dalam totalitarisme baru, yang justru akan memperbesar skala dan intensitas konflik.
Kedua, komunitas internasional juga bisa membantu kelompok-kelompok terkait untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersifat representatif (representative governments). Di dalam pemerintahan semacam ini, tidak ada satu pun kelompok, seminoritas apapun dia, dijauhkan dari pembagian kekuasaan. Institusi politik yang ada harus ditata dengan kepastian, bahwa setiap kelompok memiliki perwakilannya di birokrasi dan parlemen, serta bahwa setiap kepentingan mereka dapat dipenuhi semaksimal mungkin oleh sistem yang ada. Untuk mencapai ini, pemilu dengan sistem ‘pemenang akan mendapatkan segalanya’ tidaklah boleh diterapkan. Selain berperan sebagai penasehat, perwakilan dari komunitas internasional juga bisa berperan sebagai mediator di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Komunitas internasional juga bisa memberikan pendampingan di bidang ekonomi (economic assistance), terutama bagi kelompok yang sistem ekonomi maupun politiknya masih beroperasi secara tidak efektif. (Brown, 1997, 98)
Ketiga, menurut Brown, komunitas internasional haruslah mendorong masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk sungguh menghormati dan memberdayakan perbedaan-perbedaan kultural. (Brown, 1997) Atau minimal, komunitas internasional haruslah menekan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk mencegah terjadinya diskriminasi pada kelompok yang minoritas. Setiap kelompok etnis haruslah memiliki kesetaraan status di hadapan hukum. Setiap kelompok etnis juga haruslah memiliki hak-hak ekonomi maupun politik yang sama. Hak untuk beragama dan beribadah juga haruslah dijamin. Dan sejauh itu memungkinkan, setiap kelompok etnis haruslah diperbolehkan menggunakan bahasa mereka sendiri di sekolah-sekolah maupun di komunitas lokal, di mana mereka hidup dan beraktivitas.
Pada Desember 1992, PBB telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak kultural setiap orang. Akan tetapi, menurut Brown, seperti banyak deklarasi mengenai hak asasi manusia lainnya, deklarasi ini tidak memiliki ikatan hukum. Bahkan bisa dikatakan, bahwa instrumen HAM yang dirumuskan PBB ini sangatlah lemah, sehingga hampir tidak punya otoritas di hadapan komunitas internasional. Untuk menambal kelemahan itu, PBB perlu secara agresif bekerja untuk menciptakan negara efektif, yang pada akhirnya bertujuan untuk memastikan penerapan instrumen HAM di berbagai belahan dunia. Tidak hanya itu, PBB dan komunitas internasional secara keseluruhan harus mulai menerapkan sanksi, baik itu sanksi ekonomi, politik, bahkan militer, bagi negara-negara yang gagal melindungi HAM warganya.
Pada level persepsi, komunitas internasional dapat membantu setiap negara menuliskan sejarahnya sendiri-sendiri secara tepat. Sejarah yang ditulis haruslah terbuka terhadap diskusi dengan kelompok lain yang mungkin sekali mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses ini sendiri melibatkan akademisi dan perwakilan dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Memang, beberapa pertemuan tidak akan menghapus kebencian dan dendam yang diturunkan sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap sejarah. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan dalam bentuk konferensi dan seminar tersebut merupakan suatu usaha yang perlu terus dilakukan, walaupun hasilnya hanya bisa dilihat dan dirasakan di dalam proses.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh komunitas internasional, jika tindak pencegahan konflik gagal, dan perang antar etnis pun terjadi? Menurut Robert Cooper dan Mats Berdal, ada empat hal yang harus dilakukan. (Brown, 1997, 99) Pertama, komunitas internasional harus menyatakan suatu ketegasan moral dan politis untuk melakukan intervensi. Kedua, intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang obyektif. Artinya, tujuan dari intervensi, terutama intervensi militer, haruslah demi kebaikan sebanyak mungkin pihak yang terlibat.
Ketiga, komunitas internasional juga harus mampu menunjukkan sikap konsistensi di dalam melakukan internvensi konflik. Perang antar etnis seringkali berlangsung lama. Kelompok-kelompok yang saling berseteru memiliki motivasi berperang yang besar, terutama karena mereka merasa bahwa keberadaan mereka terancam. Jika komunitas internasional ingin melakukan intervensi semacam itu, maka mereka haruslah memiliki legitimasi politik maupun hukum yang kuat. Dan keempat, komunitas internasional juga harus sudah memutuskan, kapan mereka harus menarik diri dari konflik antar etnis yang tengah terjadi. Jika ini tidak dipertimbangkan terlebih dahulu, komunitas internasional juga bisa terlibat di dalam konflik yang berlarut-larut, dan malah memperbesar skala konflik.
Brown juga berpendapat bahwa proses diplomasi di dalam konflik antar etnis tidak akan pernah berjalan, jika tidak ada ancaman dalam bentuk sanksi ekonomi maupun militer. (Brown, 1997) Yang juga penting diingat adalah, bahwa pendekatan yang bersifat militeristik tidak akan bisa menyelesaikan problem sampai pada akar-akarnya. Pendekatan militer paling maksimal hanya bisa menjadi penengah antara dua pihak yang tengah berseteru dengan menggunakan senjata api, tetapi tidak pernah bisa menciptakan perdamaian. Pendekatan militer, pada dirinya sendiri, tidak akan pernah menyelesaikan problem politis dan perseptual yang sungguh berakar di antara kelompok-kelompok etnis yang berperang. “Kunci kepada suatu resolusi konflik yang sesungguhnya”, demikian tulis Brown, “adalah pengembangan masyarakat sipil dalam suatu komunitas politis yang otentik.” (Brown, 1997, 100) Inilah yang masih harus kita pelajari bersama.

Kepustakaan
1.Brown, M. 1997. Causes and Implications of Ethnic Conflict, dalam The Ethnicity
Reader. Nationalism, Multiculturalism, and Migration, Guibernau dan John Rex
(eds), Great Britain, Polity Press, hal. 80-100.
3Horowitz, D. 1985. Ethnic Groups in Conflict, Berkeley, University of California Press,
4.Lijphart, A. 1990. The Power-Sharing Approach, dalam Conflict and Peacemaking in
Multiethnic Societies, Lexington, Lexington Books, hal. 491-509.
2.Smith, 1986. The Ethnic Origins of Nations, Oxford, Basil Blackwell
Wattimena,A. 2008, MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS.
www.rezaantonius.wordpress.com. 8 Juni 2009 pukul 21.00